Oleh: Herdi Sahrasad -Associate director The Media Institute serta Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, juga research associate LP3ES Jakarta-Kamis, Jawa Pos-18 Februari 2010
Prof.Jeffery Winters (Indonesia's Foreign Debt, Northwestern University, 2003) mencatat, beban utang Indonesia sudah melampaui negara-negara tetangga di Asia, seperti Korsel, Thailand, dan Filipina. Total pembayaran utang pemerintah (domestik dan asing) untuk 2000, 2001, dan 2002 saja mencapai USD 8,8 miliar, USD 12,9 miliar, dan USD 15,6 miliar. Dari angka itu, pembayaran cicilan utang luar negeri mencapai USD 3,7 miliar, USD 5,4 miliar, dan USD 7,6 miliar.
Para pakar ekonomi memperkirakan, setiap hari Indonesia harus mengalokasikan sekitar USD 2,5 juta untuk membayar bunga utang di lembaga keuangan internasional. Pada 2001-2005 rasio tersebut naik 22 persen. Perlu diingat, sejak 2003 banyak masa jeda (grace period) bayar utang luar negeri yang dijadwal ulang melalui Paris Club 1 (September 1998) dan Paris Club 2 (April 2000) yang habis. Pada 2006 total utang Indonesia USD 134,85 miliar (asing dan domestik) atau lebih dari 40 persen dari GDP. Selain itu, defisit anggaran nasional lebih dari USD 3 miliar dan pemerintah meninggalkan sedikit ruang untuk terlibat dalam pembangunan.
Sampai 2006, pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah memakan porsi 31 persen hasil pajak. Jumlah tersebut seharusnya digunakan untuk pembangunan prorakyat miskin dan infrastruktur serta investasi sosial lain.
Empat tahun terakhir, tak ada perubahan berarti dalam penyelesaian beban utang yang memberatkan rakyat tersebut. Karena itu, pada 2010, pemerintah diharapkan punya skema baru pembiayaan defisit APBN. Sebab, skema utang sudah berlangsung puluhan tahun sehingga pembayaran cicilan lebih besar daripada utang baru.
Menambah Utang
Dua pekan pertama 2010, pemerintah sudah menambah utang Rp 27,5 triliun melalui penerbitan surat utang atau obligasi negara. Nilai tersebut berasal dari penerbitan surat utang negara (SUN) Rp 7,5 triliun dan penerbitan obligasi global USD 2 miliar atau sekitar Rp 20 triliun dengan asumsi nilai tukar pada APBN 2010 sebesar Rp 10 ribu per USD.
Memang, tahun ini pemerintah gencar menyerap dana lewat penerbitan surat utang, baik konvensional maupun syariah di awal tahun (front loading strategy). Strategi itu dilakukan agar defisit anggaran lebih cepat diamankan.
Hingga November 2009, utang pemerintah pusat tercatat sebesar USD 170,73 miliar atau setara Rp 1.618,54 triliun. Jumlah itu bertambah sekitar Rp 16 triliun dalam sebulan karena pada Oktober 2009 sebesar USD 167,86 miliar atau Rp 1.602,86 triliun. Dari sisi risiko, jumlah utang pemerintah sebesar itu tidak terlalu mengkhawatirkan. Artinya, pemerintah tidak mungkin tidak mampu membayar. Namun jelas, yang membayar adalah rakyat. Padahal, menurut World Bank, lebih dari 100 juta orang hidup dalam kemiskinan (Ahmad Munjin, Utang: Gali Lubang Tutup Lubang, 2010).
Untuk itu, satu hal yang pasti adalah risiko jangka panjang. Sebagian APBN yang merupakan anggaran publik akan habis untuk pembayaran utang pokok dan bunga.
Sejauh ini, setiap tahun Indonesia mendapatkan utang USD 3 miliar-USD 5 miliar atau Rp 30 triliun-Rp 50 triliun. Pada saat yang sama, pembayaran cicilan bunga dan utang pokok mencapai Rp 100 triliun dalam APBN 2009 dan Rp 101 triliun pada 2010. Karena itu, defisit antara utang yang didapat dan pembayaran bunga serta pokok utang sekitar USD 5 miliar atau Rp 50 triliun.
Penulis yakin bahwa pemerintah sudah mengetahui peta utang semacam itu. Tapi, sampai saat ini nyaris tidak ada upaya untuk mengeliminasi utang. Sedikit-sedikit, yang terkait dengan pendanaan selalu diselesaikan dengan skema utang melalui penjualan obligasi maupun utang luar negeri, baik multilateral maupun lembaga donor.
Pertanyaannya, sampai kapan pola utang semacam itu dianut pemerintah? Selama ini, pemerintah selalu berargumen, berutang merupakan hal wajar. Padahal, kalau dilihat dalam struktur APBN, pertanian hanya mendapatkan alokasi yang lebih rendah daripada pembayaran utang per tahun.
Begitu juga pos untuk kesehatan, hanya dapat jatah 2-3 persen dari APBN. Semua itu sangat menyedihkan.
Dicekam Kreditor Asing
Tahun ini sebagian besar penerimaan negara dari pajak, sumber daya alam, serta penarikan utang baru masih dinikmati kreditor asing dan individu dalam bentuk pembayaran cicilan bunga dan pokok utang. Perbankan juga masih menikmati porsi besar dalam bentuk pembayaran bunga obligasi rekapitulasi perbankan.
Adapun penumpukan utang baru menimbulkan biaya sangat besar yang ditanggung rakyat dalam bentuk pemotongan subsidi dan anggaran sosial. Sepanjang 2005-2009, akumulasi pembayaran cicilan bunga dan pokok utang dalam APBN 2009 mencapai Rp 702,209 triliun. Angka tersebut masih berada di bawah total belanja subsidi energi 2005-2009, yakni Rp 641,4 triliun. Sementara itu, alokasi subsidi nonenergi hanya Rp172,2 triliun.
Fakta tersebut menunjukkan potret ketidakadilan dalam kebijakan anggaran yang prokreditor selama ini. Lebih dari 65,0 persen dari total pembayaran bunga utang diperuntukkan pembayaran bunga utang dalam negeri, yang seluruhnya berasal dari pembayaran bunga surat berharga negara (SBN) domestik. Sementara itu, sisanya, yakni 35 persen, merupakan realisasi pembayaran bunga utang luar negeri yang terdiri atas bunga SBN internasional dan bunga pinjaman luar negeri (Dani Setiawan, Laporan Koalisi Antiutang, 2010).
Meningkatnya beban pembayaran utang mengakibatkan berkurangnya anggaran sosial bagi rakyat. Belanja subsidi BBM dan listrik secara konsisten menurun selama lima tahun terakhir. Begitu pula alokasi untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat dan pemberantasan kemiskinan, yakni tidak naik secara signifikan. Hal tersebut mengakibatkan memburuknya kualitas pembangunan manusia sebagaimana terlihat dari indeks pembangunan manusia yang masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga (UNDP, 2009). Indonesia menempati posisi ke-111 di antara 182 negara, tertinggal jauh dari negara tetangga, seperti Singapura (ke-23), Malaysia (ke-66) dan Thailand (ke-87).
Agaknya, sampai era kepemimpinan SBY-Boediono pada 2010, Indonesia masih dijerat dan disandera utang serta dicekam kreditor asing tanpa solusi penghapusan utang najis, tanpa solusi yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Akhirnya, rakyatlah yang menanggung beban berat seluruh utang.
*). Herdi Sahrasad, associate director The Media Institute serta Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, juga research associate LP3ES Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar