PROKLAMASI

PROKLAMASI
INDONESIA

Kamis, 21 Oktober 2010

Tentang Bagaimana Gaza Bertahan Hidup

Perdana Menteri Ismail Haniya, dalam sebuah pidatonya pada saat wisuda sarjana ke-29 The Islamic University of Gaza, Ahad sore, 25 Juli 2010 menegaskan, “Tidak akan ada negara Palestina tanpa Jalur Gaza,” pernyataan itu langsung disambut tepuk tangan meriah dan teriakan takbir berkali-kali dari ribuan orang yang hadir, “Allaahu akbar walillaahilhamd…”. Sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa Jalur Gaza adalah jantung pertahanan terpenting bagi kemerdekaan Palestina. Gaza adalah wilayah terbesar dari Palestina yang masih dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah Palestina pimpinan Ismail Haniya. Sedangkan Khan Younis wilayah terbesar kedua yang kembali bisa direbut sepenuhnya oleh para pejuang Palestina. Sebelumnya, sebagian wilayah Khan Younis dikuasai Israel dan dijadikan wilayah pemukiman warga Israel.

Dalam kesempatan itu, Ismail Haniya juga meminta kepada seluruh hadirin untuk mengucapkan selamat datang kepada relawan Indonesia, “Ucapkan selamat datang kepada saudara-saudara kita yang datang dari Indonesia,” Haniya melambaikan tangannya ke arah kami. Saya, Imam Akbari, Muhammad Baaghil dan Ikhwan. Kamera TV menyorot wajah-wajah melayu yang nampak asing bagi orang-orang Palestina, kami merasa sambutan Palestina begitu hangat dan bersahabat.

Pidato Haniya –setidaknya saya melihat dan mendengarnya dua kali- selalu menyemangati rakyat Palestina. Ia sangat dicintai, penuh kharisma, pribadi yang sangat diyakini mampu membawa Palestina pada kejayaannya, meski di sisi lain ia juga sosok yang ditakuti lawan, paling dicari dan menjadi sasaran utama musuh-musuh Palestina seperti para pendahulunya. Pidato yang selalu disambut tepuk tangan meriah, serta gemuruh takbir para hadirin. Wajahnya memancarkan sinar, kharismanya menggetarkan lawan-lawan, kata-katanya menggelorakan semangat, itulah Ismail Haniya. Ia sangat sederhana dan egaliter, saat di atas panggung, berkali-kali anak kecil sengaja berdatangan untuk mencium tangan atau pipinya, tanda ia sangat dicintai rakyatnya. Tanpa protokoler yang berbelit-belit, begitu mudah menemuinya. Sosok inilah rupanya yang membuat rakyat Gaza dan Palestina pada umumnya mampu bertahan dalam blokade dan kekejaman Israel.

Gaza, kota yang tidak bisa diprediksi keamanannya. Hari ini terlihat aman, besok belum tentu dan begitu seterusnya. Hampir setiap pekan selalu saja ada penembakan atau serangan dari milisi Israel, terutama di bagian utara Gaza yang langsung bersebelahan dengan perbatasan. Kota Gaza sendiri, paska serangan sporadis akhir Desember 2008 hingga Januari 2009 silam masih menyisakan kepiluan. Puing-puing bekas reruntuhan bangunan sekolah, masjid, pemukiman warga, kantor polisi, kampus dan lain sebagainya menjadi saksi kekejaman Israel. Para isteri yang kehilangan suaminya, anak-anak yang kehilangan ayah dan ibu mereka, atau orang tua yang tak kuasa menahan tangis ketika anak-anak mereka direnggut paksa oleh serbuan militer Israel.

Dampak serangan setahun lalu masih dirasakan oleh warga Gaza hingga sekarang, bahkan bukan hanya dampak serangan tahun lalu, serangan, embargo, blokade yang dilakukan Israel pada tahun-tahun sebelumnya pun masih menyisakan kepiluan, kesedihan dan keterbatasan hidup, kini ditambah lagi akibat serangan tahun 2009. Kota Gaza hanya memiliki satu pembangkit listrik, itupun sering menjadi sasaran gempuran serangan Israel. Dari sumber listrik satu-satunya itulah warga Gaza bertahan. Sebagian besar kota Gaza harus menikmati on-off listrik setiap delapan jam sekali. Delapan jam mereka bisa mennggunakan listrik, delapan jam berikutnya semua lampu padam begitu seterusnya. Bahkan di beberapa daerah lebih parah, di Mugrakah misalnya, bisa setengah hari lebih warga di salah satu distrik di Gaza itu tanpa listrik.

Mugrakah, salah satu distrik di Gaza City yang setahun lalu menjadi sasaran serbuan militer Israel dahulunya merupakan wilayah pemukiman warga. Serangan Israel menghancurkan ratusan rumah dan masjid serta fasilitas umum lainnya. Akibat serangan tersebut, lebih dari empat puluh orang meninggal dan ratusan lainnya terluka. Saat ini, daerah tersebut sepi dari penghuni karena kebanyakan warganya tak mampu memperbaiki rumah tinggal mereka yang sudah hancur. Ada beberapa warga yang mengumpulkan puing dan sisa-sisa rumah mereka untuk dijadikan tempat tinggal seadanya. “Disini kami sangat kesulitan, dalam sehari lebih sering kami tidak ada listrik, tidak ada air dan kesulitan bahan makanan, untuk ke sekolah mereka harus berjalan kaki di tengah terik matahari dan debu hampir satu jam perjalanan,” ujar Ahmed Aqlin, salah seorang pengurus Al Zahra Development Association.

Ketika tim ACT mengunjungi yayasan yang menampung sekitar 500 anak yatim, fakir miskin dan anak-anak korban perang itu, keadaannya sungguh memprihatinkan. Yayasan Al Zahra khusus menampung anak-anak dan remaja perempuan, karenanya lebih sering dikenal sebagai Muslim Sisters. Apa yang kami saksikan di tempat itu, membuat air mata nyaris tak tertahan, hanya keteguhan, kesabaran dan senyum anak-anak itulah yang membuat saya bisa menahan air mata untuk tidak tumpah di hadapan mereka. Malu rasanya kalau saya sampai menangis, sebab mereka lebih punya alasan untuk menangis.
Coba bayangkan, di salah satu kelas mereka sedang merangkai hiasan pita yang membungkus sabun. Salah satu hasil mereka langsung diberikan kepada Imam Akbari, bukankah seharusnya kami yang memberi mereka? di kelas lainnya beberapa remaja sedang menggambar. Seorang remaja menggambar sebuah mata besar dengan air mata menetes, menambah gerimis di hati ini. Sebuah gambar bisa menjelaskan sejuta kata yang ingin diucapkan pembuatnya, gadis itu tanpa harus ia menjelaskan maknanya, saya tahu persis bahwa ia sangat sedih dengan keadaan yang dialaminya saat ini. Gadis lainnya menggambar lautan Gaza berwarna biru, dengan suasana pantai yang indah. Saya menebak, ia terkenang saat-saat indah ketika bersama keluarganya berlibur ke pantai setiap akhir pekan.Masih adakah keluarganya kini? Atau itu hanya tinggal kenangan baginya? “Saya ingin Gaza damai seperti laut, indah seperti pantai,” ujarnya singkat.

Seorang gadis di bangku lain, melukis rumah-rumah yang indah dengan pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pepohonan serta bunga. Menurutnya, ia berharap kelak bisa menikmati lagi suasana seperti itu di rumahnya. Sedangkan gadis di sebelahnya, ia terlihat pendiam. Anda tahu apa yang digambarnya? Sebuah kawat berduri panjang yang mengitari rumah-rumah, membatasi orang-orang yang tidak bisa pergi kemanapun. Inikah gambaran perasaannya yang merasa bahwa Gaza sebagai penjara baginya?

Coba simak sebuah surat dari Salsabeel, usia tiga belas tahun yang membacakan surat ini saat kedatangan kami di Al Zahra. Salsabeel, dengan bahasa inggris yang pas-pasan mencoba menggambarkan suasanya hatinya;

“ by the name of ALLAH
Today it gives us great pleasure to have you with us today to oner us.
Those days we live in a big nightmare. We called Gaza Prison that children suffer from pain, hunger and fear.

We see the children in the world enjoying peace.
But these children with there strong separate still have feath that they will survive from this big nightmare.

And we wish if it ends soon…”
Al Zahraa Development Association
Salsabeel F. Al Najjar

Saya beri tahu sobat, saya benar-benar ingin menangis mendengarnya, deras hujan di dalam hati ini, namun saya tak boleh, tak boleh mengeluarkan air mata sedikitpun, karena Salsabeel si penulis surat itu memberi senyum bahagianya kepada kami.

Kemudian kami diajak ke ruangan lain, begitu kami masuk, enam anak usia sekolah dasar menyambut dengan nyanyian dan kemudian tarian Dabkah, sebuah tarian tradisional Palestina. Saya tahu, tidak selamanya mereka bernyanyi, tidak selamanya mereka seriang saat menari mencoba memertontonkan kebahagiaan untuk menghibur tamu dari Indonesia ini. Bukankah seharusnya kami yang menghiburnya? Saya biarkan anak-anak itu bernyanyi karena boleh jadi di waktu lain mereka lebih banyak menangis. Biarkan mereka menari dengan riang, mungkin saat kami pergi mereka lebih banyak termenung dalam mimpi-mimpi indah mereka yang tak kunjung terwujud.

Mereka masih anak-anak, remaja-remaja yang memiliki cita-cita layaknya anak-anak lain di seluruh dunia. Seperti kata-kata Salsabeel, “… we see the children in the world enjoying peace”, mereka layak, mereka pantas mendapatkan kedamaian yang mereka impikan. Mereka tak pernah mengerti kenapa negeri mereka dijajah, diinjak-injak, hidup mereka dibatasi, kebahagiaan mereka dirampas bahkan cita-cita mereka terancam sirna.

Di kelas lain, sekitar dua belas remaja tengah belajar komputer. Apa yang sedang mereka pelajari di depan komputer yang tak menyala? Tanpa listrik, bagaimana mereka bisa belajar? Ternyata bisa. Kami melihat seorang guru tengah mengajarkan penggunaan “power point” di papan tulis. Mereka menyaksikan dengan seksama, meski mata mereka sekali-kali memandangi komputer di hadapannya, berharap keajaiban datang tiba-tiba aliran listrik tersambung dan komputer mereka bisa dioperasikan. “Ah mungkin cuma mimpi,” gumam mereka.

“Saya suka komputer, saya senang belajar power point,” ujar salah seorang dari mereka. Seorang lainnya berkata, “komputer dan internet akan membantu kami melihat dunia lain, termasuk Indonesia. Saya berharap suatu saat bisa berkunjung ke negeri Anda, seperti Anda saat ini berkunjung ke Palestina,” ujar remaja yang lain. Semangat mereka terlihat begitu menyala, malu rasanya saya yang lebih sering kehilangan semangat begitu satu nikmat saja berkurang. Anak-anak di Gaza sudah terlatih hidup dalam kegelapan, tanpa air dan segala keterbatasan lainnya.

Mereka begitu senang menerima kehadiran kami, terlebih ketika masing-masing mereka mendapatkan kartu pos dari anak-anak Indonesia yang kami bawa. Tidak penting bagi mereka mengerti atau tidak bahasa yang tertulis di kartu pos itu, karena bahasa makna dari kartu pos itu jauh lebih mereka pahami, bahwa mereka baru saja mendapatkan sahabat-sahabat baru dari Indonesia. “Kartu ini membuat kami senang, kami tidak lagi sendiri di Palestina, kami tahu banyak sahabat-sahabat kami di Indonesia mendoakan dan mendukung kami. Kami berharap suatu saat bisa bertemu mereka…” salah seorang remaja mewakili yang lain.

Karena Allah mereka mampu bertahan, Allah lah yang melindungi dan mencukupi mereka. Ketika Israel membombardir dan menyerang, Allah tempat mereka berlindung. Saat banyak negara ikut menyokong Israel dan mengembargo Bangsa Palestina, Allah yang mencukupi mereka. Ini bukan soal banyaknya terowongan bawah tanah yang dipakai untuk menyuplai bahan makanan dan kebutuhan ekonomi lainnya, melainkan sebuah kepercayaan bahwa kehidupan di muka bumi ini Allah lah yang mengatur segalanya, air, udara, tumbuhan, makanan, adalah kuasa Allah. Atas kuasa Allah lah mereka bertahan hidup dan terus berjuang menggapai kemerdekaan yang entah kapan bisa mereka raih.

Hal terpenting kedua yang membuat mereka mampu bertahan hidup adalah kesabaran, keikhlasan dan semangat mereka menjalani kehidupan yang serba sulit. Apalagi yang mampu menolong mereka jika bukan sabar dan ikhlas? Bukankah balasan sabar dan ikhlas adalah keindahan dan kenikmatan hidup? Meskipun secara kasat mata dunia melihat mereka dalam kesengsaraan. Tidak kawan, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan mereka tetap tersenyum menjalani kehidupan yang hampir selalu gelap, bukan gelap karena listrik yang on-off setiap delapan jam sekali, melainkan kegelapan sebenarnya. Mereka tetap semangat, hidup mereka normal buat ukuran mereka sendiri, meski bagi masyarakat dunia mereka berada dalam penjara terbesar di dunia. Itu semua karena mereka punya modal hidup yang luar biasa; ikhlas, sabar dan semangat yang tak pernah padam.

Sosok pemimpin luar biasa yang dicintai masyarakatnya, dan dipercaya mampu membawa Palestina pada kejayaan adalah hal terpenting lain yang membuat mayoritas penduduk Gaza berani dan sabar menjalani kehidupan yang serba terbatas. Ketika pemimpin seperti Ismail Haniya tinggal di kawasan yang sama kumuhnya dengan masyarakat biasa, ketika siapapun tak pernah dihalangi untuk mencium tangannya, memeluknya untuk menunjukkan kecintaan masyarakat pada pemimpinnya, ketika kata-katanya dalam setiap kesempatan pidato selalu membakar semangat dan menyuburkan jiwa-jiwa yang hampir rapuh, ketika itulah kehidupan sepahit apapun akan mampu dijalani dengan rasa yang teramat manis. Pemimpin negeri itu dan orang tua mereka di rumah mengajarkan bagaimana memelihara semangat hidup dengan menggantungkan kehidupan kepada Yang Maha Mengatur kehidupan, serta ikhlas menerima kehidupan yang tak semanis kehidupan di tempat lain hanya karena satu keyakinan, bahwa kehidupan yang indah telah menanti mereka di surga kelak.

Yang tak kalah pentingnya bagi mereka adalah, ketika mereka tahu bahwa mereka benar-benar tak sendiri. Kebahagiaan mereka, ketika tahu ada orang-orang yang peduli dan ingin menjadi sahabat mereka, coba simak kalimat pertama surat Salsabeel, “today it gives us great pleasure to have you with us…”, Salsabeel Al Najjar, remaja putri yang kemudian saya ketahui ia berasal dari keluarga pejuang. Seorang sepupunya telah –insya Allah- syahid dengan menjadi martir. Atas skenario Allah, Rabu pagi 28 Juli 2010, saya dipertemukan dengan Awad Al Najjar, seorang pengemudi di Kementerian Pendidikan dan Pendidikan Tinggi Palestina. Ketika saya bercerita kepada Ahmed Al Najjar tentang surat Salsabeel, Awad langsung berteriak, “Salsabeel Fairuz Al Najjar? Dia keponakan saya…” kemudian Awad dengan bangganya bercerita tentang anaknya yang menjadi martir pada Januari 2009.

Jika Anda berkesempatan mengunjungi Gaza, di setiap sudut jalan kota selalu Anda dapatkan poster atau papan reklame para pejuang mujahidin dan martir. Kebanyakan mereka masih muda, usia belasan tahun hingga belum genap tiga puluh tahun. Wajah mereka tampan, bersih dan selalu tersenyum. Orang-orang Gaza bangga memersembahkan putra-putrinya sebagai pejuang, dan bila melihat berbagai poster dan papan reklame di setiap sudut itu menunjukkan pada Isreal dan juga dunia, bahwa di hampir semua sudut di Gaza selalu tumbuh anak-anak muda yang berani berkorban untuk meraih kemerdekaan bangsanya. Satu terpanggil sebagai martir, seribu lagi tumbuh, semakin hari semakin tak terbilang jumlahnya. Inilah Gaza kawan, negeri para syuhada yang menjadikan surga sebagai tujuan mereka.

Kita, setidaknya saya, jadi tahu bagaimana serbuan-serbuan militer Israel dan embargo ekonomi tak membuat mereka menyerah dan tetap mampu bertahan menjalani kehidupan yang nampak tak normal dari luar Palestina. Kartu pos dari anak Indonesia yang kami bawa, menjadi obat senyum anak-anak Palestina, “Saya ingin mengirim surat untuk sahabat-sahabat Indonesia, maukah mereka menerimanya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar