PROKLAMASI

PROKLAMASI
INDONESIA

Kamis, 04 Februari 2010

KEBANGKITAN NASIONAL

KEBANGKITAN NASIONAL SEBAGAI “TUGAS HISTORIS”, BUKAN “RITUS HISTORIS”

Apa yang bisa kita (baca: bangsa Indonesia) refleksikan, se-abad Kebangkitan Nasional? Bentuk dan politik perjuangan macam apa yang harus kita lakukan sebagai manifes Kebangkitan Nasional?
Bagaimana praktik kehidupan berbangsa-bernegara dewasa ini dari sudut gagasan Kebangkitan Nasional tahun 1908?

Kemerdekaan pada hakekatnya merupakan kata kunci dari Kebangkitan Nasional. Pertumbuhan organisasi pergerakan nasional yang dipelopori kaum muda terpelajar pada awal abad ke-20 itu adalah jawaban terhadap situasi dan kondisi zamannya yaitu kolonialisme-imperialisme. Praktik kolonialisme-imperialisme yang menjadi gejala dunia pada masa itu dinilai hanya menguntungkan kaum elite penjajah. Legitimasi negara dan orde kolonial yang diskriminatif-feodalistik-primordialistik digugat habis-habisan karena mengingkari harkat kemanusiaan. Orde kolonial dianggap makin memperlemah keberdayaan ekonomi, politik dan budaya masyarakat.

Dengan demikian, melalui Kebangkitan Nasional terdapat transformasi ide/gagasan dari eksklusivisme tata pandang dan kehidupan lama ke arah tata pandang dan kehidupan baru atas dasar konsep nation (bangsa): Terbayanglah INDONESIA sebagai nation-state. Ini berarti Kebangkitan Nasional pada hakekatnya adalah anasir konstruktif dengan visi INDONESIA MRDEKA, Bung Karno menerjemahkannya ke dalam teori “trisakti”, berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Apakah dalam se-abad Kebangkitan Nasional kita masih memegang teguh nilai dan visi Kebangkitan Nasional tersebut?
Yang bisa kita catat, bangsa ini terkesan telah meninggalkan nilai dan visi Kebangkitan Nasional. Setiap tahun memperingatinya, tapi melupakan maknanya. Kebangkitan Nasional hanya menghasilkan “ritus historis”, dan bukan “tugas historis”. Padahal, yang terpenting dari setiap peringatan Kebangkitan Nasional adalah memaknainya sebagai “tugas historis”. Maksudnya, nilai dan visi Kebangkitan Nasional seharusnya menjadi pedoman dan kerangka evaluasi terhadap pengelolaan nation-state INDONESIA.

Praktik kolonialisme-imperialisme yang melatari lahirnya Kebangkitan Nasional dewasa ini menemukan bentuknya yang lain. Kita dewasa ini juga menghadapi situasi dan kondisi yang hampir mirip dengan situasi dan kondisi se-abad yang lalu. Pengelolaan terhadap INDONESIA secara substantif mirip negara kolonial, yang implikasinya juga serupa: rakyat kehilangan keberdayaan politik, ekonomi, dan kebudayaan.

Kemerdekaan sebagai bangsa-negara INDONESIA semula diyakini sebagai jalan politik untuk meraih kedaulatan secara ekonomi dan kebudayaan. Namun sejak INDONESIA diproklamasikan sebenarnya rakyat masih jauh dari memperoleh kedaulatan politik. Partai politik memang ada, bahkan sekarang sangat banyak. Ritus politik INDONESIA sebagai negara modern juga dilaksanakan secara tertib. Lima tahun sekali ada pemilu, dan dan menghasilkan wakil-wakil rakyat baik di pusat maupun daerah. Bahkan sekarang dilakukan pemilihan langsung terhadap presiden dan kepala daerah sebagai pemimpin eksekutif. Dari sudut formal, rakyat memang berdaulatan secara politik. Namun, secara substantif, rakyat justru ditinggal. Rakyat hanya digunakan sebagai legitimasi politik; sekedar untuk memenuhi syarat formal praktik demokrasi sebagai negara modern. Keputusan-keputusan politik negara tetap saja dihasilkan melalui oligarki politik, yang hanya mengabdi kepada kepentingan elite yang mengontrol modal di negeri ini. Negara tidak punya daya berhadapan dengan kepentingan elite pengontrol modal di negeri ini, bahkan terkesan memfasilitasi.

Secara substansi kita dewasa ini juga mengahdapi tantangan ekonomi yang mirip zaman Kebangkitan Nasional awal abad ke-20, bahkan lebih canggih ldengan implikasi yang tidak kalah mengerikan. Dinamika kapital benar-benar tidak mengenal batas negara dan identitas kebangsaan. Ekonomi suatu negara tidak terlepas dari pengaruh ekonomi global. Kondisi demikian sangat tidak menguntungkan bagi negara pascakolonial seperti INDONESIA. Dampak keganasan globalisasi ekonomi itu mau tak mau harus dipikul bangsa ini. Problem perekonomian kita yang yang diwarisi rezim ke rezim sangat kompleks akibat globalisasi itu. Bukan hanya persoalan makro ekonomi dan sektor riil; juga bukan hanya bagaimana pertumbuhan ekonomi terbentuk. Problem perekonomian kita dewasa ini telah sangat kompleks yang berakar pada produktivitas nasional yang lemah. Problem itu lalu berujung pada isu kemiskinan, kesenjangan ekonomi, pengangguran, urbanisasi besar-besaran, dan isu-isu sosial lainnya.

Kebijakan ekonomi liberal selama ini ternyata mampu menghasilkan produktivitas nasional seperti dibayangkan. Investasi besar-besaran dan pertumbuhan ekonomi selama ini ternyata semu belaka. Produktivitas tidak tumbuh; sumber-sumber perekonomian rakyat yang berbasis di pedesaan sekarat; kekayaan alam juga terkuras habis.
Kompleksitas problem perekonomian tersebut membutuhkan penanganan yang bersifat radikal, bukan hanya sekedar “reformasi ekonomi” yang bercorak liberal ala lembaga-lembaga keuangan dunia macam IMF dan Bank Dunia yang merepresentasikan kepentingan kapitalisme global. Disebut radikal, karena bersangkut paut dengan pembaruan tata kelola sumber daya alam dan sistem-sistem lain, yang sepenuhnya berorientasi pada pembentukan produktivitas nasional demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain dengan nilai dan visi Kebangkitan Nasional, kebijakan ekonomi haruslah mengabdi kepada kepentingan rakyat. Di zaman globalisasi ekonomi seperti sekarang ini kita harus bisa “mengelola saling ketergantungan” demi keuntungan bersama.

Oleh karena itu, dalam se-abad Kebangkitan Nasional, kita mendapatkan inspirasi dan pelajaran penting beberapa negara Amerika Latin yang bekerjasama untuk melawan oligarki dunia. Venezuela mengumumkan penarikan diri dari keanggotaan Bank Dunia dan IMF karena dua lembaga keuangan internasional itu lebih banyak memberi kesulitan daripada kebaikan. Hampir bersamaan dengan keputusan Venezuela, Presiden Bolivia Evo Morales mengumumkan negara kembali mengontrol semua bisnis asing, khususnya migas, sehingga sejumlah perusahaan asing yang selama ini menguasai bisnis migas di Bolivia harus menandatangani kontrak baru.

Sebagai negara pascakolonial, INDONESIA memiliki riwayat pembangunan yang mirip dengan negara-negara di Amerika Latin. Karena itu, kebijakan sejumlah negara Amerika Latin itu menarik kita teladani: negara punya keberanian menghadapi kekuatan yang nyata-nyata menyengsarakan rakyat.

Ketidakberdayaan secara politik dan ekonomi itu pada gilirannya juga mengakibatkan rakyat kehilangan jatidiri secara budaya. Tidak ada karya budaya yang bisa dibanggakan, sebaliknya justru citra kekerasan. Kita menjadi bangsa yang mengalami kemerosotan martabat.
Menyongsong se-abad Kebangkitan Nasional, kita harus menjadikannya “tugas historis”, dan bukan “ritus historis”.

Jakarta, 28 Oktober 2008

Bondan Gunawan S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar