PROKLAMASI

PROKLAMASI
INDONESIA

Kamis, 04 Februari 2010

NASIONALISME DIDAERAH PERBATASAN

Pointers ini pernah disampaikan sebagai bahan diskusi di Acara DIALOG NASIONAL, tema : 63 Tahun Kemerdekaan Indonesia dalam Menakar Nasionalisme di Tapal Batas yang diselenggarakan oleh Barisan Anak Bangsa (BAB), Nunukan, 27 Agustus 2008

NASIONALISME DI DAERAH PERBATASAN

* Bagi negara pascakolonial semacam Indonesia, nasionalisme terbangun bukan karena kesamaan ras, suku, agama, melainkan kesamaan sejarah. Nasionalisme tumbuh dan berkembang akibat hubungan-hubungan objektif dalam sistem kolonialisme/imperialisme yang diterapkan negara kolonial Hindia-Belanda di atas wilayah yang disebut “Sabang sampai Merauke”. Objektivasi kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial itulah yang membentuk le desire d’etre ensemble, keinginan untuk bersatu (dalam istilah Ernest Renan) dan melahirkan charaktergemeinschaft, persamaan watak (dalam istilah Otto Bauer).

* Karena kesamaan sejarah, nasionalisme Indonesia membutuhkan syarat-syarat objektif terkait kehidupan real warga. Ikatan le desire d’etre ensemble, dan charaktergemeinschaft hanya bisa dijaga melalui “kesamaan nasib/sejarah” pula. Dengan demikian, nasionalisme Indonesia akan tumbuh dan dapat dipelihara melalui kebijakan-kebijakan negara menyangkut realitas kehidupan warga. Kebijakan negara menjadi faktor penting bagi penumbuhan dan pemeliharaan nasionalisme.

* Karena itu, bagi Indonesia, nasionalisme sebenarnya bukan hanya problem di daerah perbatasan saja. Di seluruh wilayah Indonesia bisa muncul problem nasionalisme. Di pusat, di daerah; di tengah maupun di pinggir. Bahkan krisis nasionalisme bisa pula muncul di pusat-pusat kenegaraan dan menghinggapi warga negara utama, para elite politik, yang seharusnya berada di depan dalam menghidupkan nasionalisme.

* Bisakah dikatakan para elite politik itu memiliki semangat dan jiwa nasionalis ketika mereka melalui kebijakan-kebijakannya justru membajak negara dan “menjualnya” kepada korporasi besar tanpa peduli akibatnya bagi kelangsungan hidup rakyat dan generasi akan datang? Apakah kita percaya bahwa mereka yang ada di pusat-pusat kekuasaan itu memiliki kadar nasionalisme yang lebih kuat dibanding rakyat di daerah perbatasan yang sehari-hari mencari penghidupan dengan melintasi batas wilayah menuju negara tetangga? Apa yang kita khawatirkan terhadap nasionalisme rakyat di daerah perbatasan?

* Bila pola kehidupan dan hal-hal sehari-hari rakyat di daerah perbatasan acapkali dipengaruhi oleh negeri tetangga, sesungguhnya tidak perlu terlampau dikhawatirkan. Tanpa ada di daerah perbatasan, pola hidup kita juga dipengaruhi oleh negara lain melalui teknologi komunikasi/informasi dewasa ini. Bila rakyat di daerah perbatasan dengan Malaysia, misalnya, lebih akrab dengan “ringgit” daripada “rupiah”, bukankah orang-orang di Jakarta, ibu kota RI, juga akrab dengan “dolar”. Rakyat di daerah perbatasan tidak memiliki kekuatan untuk menyandra negara.

* Bila kita risau dengan nasionalisme rakyat di daerah perbatasan, jawaban satu-satunya adalah bangun dan sejahterakan mereka. Negara wajib menghidupi dan melindungi mereka. Rakyat di daerah perbatasan akan memberikan dirinya kepada negara bila negara juga menghidupi dan melindunginya. Inilah syarat objektif itu; cara untuk mengikat le desire d’etre ensemble, dan charaktergemeinschaft bagi rakyat di daerah perbatasan. ***

oleh : Alexander A.Spinoza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar